BAB I
Pendahuluan
Islam
merupakan agama yang perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Islam sangat
menekankan ummatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman, Allah SWT
menjelaskan bahwa diriNya adalah pengajar bagi umat Islam. Dalam ajaran Islam,
baik dalam ayat Al-Qur’an maupun Hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling tinggi
nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan salah satu sifat Allah adalah Dia
memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seperti wahyu pertama yang diturunkan Allah
SWT dalam surat Al-‘Alaq adalah perintah untuk membaca dan belajar. Dalam surat
tersebut Allah SWT juga memerintahkan kita agar menerangkan ilmu. Setelah itu
kewajiban kita adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi berikutnya.
Adapun cara memperoleh dan mengamalkan ilmu pengetahuan ialah dengan
pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi
perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama pembangunan bangsa dan
negara. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah menyediakan lingkungan yang
memugkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara
optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai
dengan kebutuhan pribadi dan masyarakat. Suatu pendidikan dikatakan bermutu jika
proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga
peserta dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang
berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan
manajemen pendidikan yang dapat memfasilitasi segala sumber yang diperlukan di
dalam pendidikan. Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu (mengidentifikasi
dan membina) serta memupuk (mengembangkan dan meningkatkan) bakat yang dimiliki
seseorang, termasuk bagi mereka yang berbakat istimewa atau memiliki kemampuan
dan kecerdasan luar biasa (the gifted and talented). Pada umumnya “anak
berbakat” diartikan sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang
tinggi. Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa orang yang mulia di sisi Allah
hanya karena dua hal, yaitu karena imannya dan ketinggian ilmunya. Oleh karena
itu dapatlah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan harus disandingkan dengan iman.
Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan iman akan menghasilkan peradaban yang
baik yang disebut dengan Al-Madinah al-Fadhilah. Jika iman disandingkan dengan
ilmu pengetahuan, lalu bagaimanakah dengan kreativitas belajar yang merupakan
salah satu jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan? Dapatkah Islam menjelaskan
tentang kreativitas belajar? Berangkat dari dua pertanyaan di atas, maka dalam
makalah ini penulis akan memaparkan lebih jauh tentang Islam dan kreativitas
belajar.
BAB II
A.
Kreativitas
dalam Belajar
Proses
belajar dapat berjalan dengan lancar dengan menerapkan beberapa metode dalam
belajar, yaitu (dalam Utsman Najati, 2000): 1. Metode Imitasi Yaitu meniru
orang lain dalam mengerjakan sesuatu. Diawal perkembangannya, seorang bayi
hanya mengikuti apa yang dilakukan ibunya dan orang-orang disekitarnya. Ketika
dewasa, tingkat perkembangan dan kebutuhannya pun semakin kompleks meskipun
meniru masih menjadi salah satu cara untuk belajar. Di dalam Islam, dapat
ditemui juga hal yang demikian misalnya pada kisah Qabil-Habil, dimana salah
satu dari mereka terbunuh sedangkan saudaranya yang lain tidak mengetahui
bagaimana cara menghilangkan mayatnya. Dari peristiwa tersebut kemudian
turunlah ayat: “…kemudian Allah SWT menyuruh seekor burung gagak menggali-gali
di bumi untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya…” (QS. Al-Maidah : 30-31) Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa
metode imitasi telah lama digunakan. Dengan meniru bagaimana burung gagak
menguburkan mayat saudaranya akhirnya kita pun meniru dengan menguburkan mayat
saudara kita yang sudah meninggal. 2. Metode Trial-Error Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia berusaha secara mandiri untuk memecahkan permasalahan yang
dihadapi. Dalam memecahkan masalah tersebut terkadang beberapa kali melakukan
kesalahan sampai akhirnya dia mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan
cara yang benar. Metode penyelesaian semacam itu disebut dengan metode
trial-error. Rasulullah SAW juga telah memberikan isyarat tentang pentingnya
melakukan percobaan pribadi ketika seseorang dalam proses belajar, seperti
hadits berikut ini : “Bukan orang yang sabar kecuali orang yang pernah
mengalami kesalahan dan bukan orang yang arif kecuali pernah melakukan
percobaan.” (HR. Turmudzi) Hadits tersebut diatas menunjukkan pentingnya
percobaan dan upaya trial-error dalam proses belajar seseorang. Seorang yang
arif tidak akan mencapai hikmah yang sesungguhnya kecuali setelah ia melakukan
rangkaian uji coba sehingga bisa menemukan kebenaran atau hikmah itu sendiri.
3. Metode Conditioning (pengkondisian) Pembelajaran melalui metode conditioning
(pengkondisian) ialah jika ada stimulus yang merangsangnya dan respon yang
menanggapi. Rasulullah SAW bersabda : “Seorang mukmin tidak akan disengat
binatang dari satu lubang yang sama sebanyak dua kali” (HR. Bukhari, Muslim dan
Abu Dawud) Dari hadits tersebut diketahui bahwa dengan metode pengkondisian ini
seseorang bisa mengetahui bagaimana cara belajar yang tepat untuknya. 4. Metode
Berfikir Dalam proses belajar, berfikir adalah mencoba menyeleksi beberapa
macam solusi atas permasalahan yang ada sebelum menjatukan pilihan pada satu
solusi. Dengan berfikir, manusia juga dapat melakukan trial-eror secara
intelektual dalam pemecahan masalahnya. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
dalam dirimu terdapat dua hal yang dicintai Allah dan RasulNya, yaitu akal
(yang mampu berfikir dengan baik) dan sifat sabar.” (HR.Muslim) Dalam
Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu
menggunakan akal dan memahami serta merenungi segala ciptaan dan kebesaran
Allah SWT di alam ini. Antara lain seperti dalam surat Al-Ghasyiah ayat 17
sampai 20, surat Qaf ayat 6 sampai 10, Surat Al-An’am ayat 95, surat Al-Anbiya
ayat 66 sampai 67 dan sebagainya. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh salah
satu tokoh psikologi yaitu Vyangotsky, yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif
seseorang akan berkembang apabila dia berinteraksi dengan orang lain. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa proses belajar manusia dapat berkembang ketika
kognitif mereka juga berkembang.
B. Pentingnya Belajar
Allah SWT sudah menekankan pentingnya belajar sejak
diturunkannya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW surat Al-‘Alaq ayat 1
sampai 5, yaitu : “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha
Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa Islam memandang aktivitas belajar merupakan sesuatu yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat berupa menyampaikan, menelaah,
mencari, mengkaji serta meneliti. Dalam Al-Qur’an kata “al-ilm” dan turunannya
diulang sebanyak 780 kali, ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar sebagai
aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan
kewajiban bagi manusia itu sendiri. Rasulullah SAW selalu memotivasi umat Islam
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Beliau juga menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan. Beliau mengajak kaum muslimin tidak hanya menuntut ilmu akan
tetapi juga mengajarkannya. Adapun arti penting belajar menurut Al-Qur’an : 1.
Orang yang belajar akan mendapatkan ilmu yang dapat digunakan untuk memecahkan
segala masalah yang dihadapi di dunia ini. 2. Manusia dapat mengetahui dan
memahami apa yang dilakukannya karena Allah sangat membenci orang yang tidak
memiliki pengetahuan akan apa yang dilakukannya karena setiap apa yang
diperbuat akan dimintai pertanggung jawabannya. 3. Dengan ilmu yang
dimilikinya, mampu mengangkat derajatnya di mata Allah SWT. Belajar merupakan
kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga
akan meningkatkan derajat kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT : “…niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat
orang-orang yang beriman dan berilmu.” (QS. Al-Mujadalah : 11) Ilmu dalam hal
ini tentu saja harus berupa pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman dan
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kreativitas Menurut
Para Pakar
Kreativitas sangat
penting untuk dikembangkan sejak usia dini, seperti yang dikemukakan oleh
Munandar (1192:46), bahwa: Kreativitas yang memungkinkan manusia meningkatkan
kualitas hidupnya. Dalam era pembangunan ini tidak dapat dipungkiri bahwa
kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara bergantung pada sumbangan
kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi baru dari
anggota masyarakatnya. Untuk mencapai hal itu, perlulah sikap dan perilaku
kreatif dipupuk sejak dini, agar anak didik kelak tidak hanya menjadi konsumen
pengetahuan baru dan pencari kerja, tetapi mampu menciptakan pekerjaan baru.[1]
Sedangkan menurut Rose Mini, seorang psikolog, “... kreativitas tidak berarti
menciptakan hal-hal yang baru sama sekali, melainkan dapat merupakan gabungan
dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya, sudah dikenal sebelumnya....”[2]
Semakin banyak pengalamannya semakin hebat pula kreativitasnya yang baru.
Kreativitas
adalah suatu kemampuan untuk memecahkan persoalan yang memungkinkan orang
tersebut memecahkan ide yang asli atau menghasilkan suatu yang adaptis (fungsi
kegunaan) yang secara penuh berkembang. Kreativitas dan kecerdasan seseorang
tergantung pada kemampuan mental yang berbeda-beda. Kreativitas menurut J.P.
Guilford disebut berpikir divergen, yaitu aktivitas mental yang asli, murni dan
baru, yang berbeda dari pola pikir sehari-hari dan menghasilkan lebih dari satu
pemecahan persoalan. Sempitnya pandangan: sering dalam memecahkan persoalan
seseorang hanya melihat satu kemungkinan jalan jalur meskipun ternyata
kemungkinan yang satu itu tidak benar orang tersebut akan mencobanya terus,
karena tidak melihat jalan keluar yang lain tentu saja ia akan menemui
kegagalan. Kreativitas mencerminkan kelancaran, keluwesan, orisinalitas dalam
berpikir, serta elaborasi dari suatu gagasan baru dapat dimanfaatkan oleh
seseorang, untuk mencari jalan keluar ketika orang tersebut menemui masalah.
Dengan kata lain, orang yang berhasil keluar dari masalah di saat-saat kritis
adalah orang yang kreatif. [3]
Berpikir
konvergen dan divergen tampaknya cenderung berkolerasi secara sedang-sedang
saja. Ukuran inteligensi terhadap pengarang. Seniman, ahli matematika dan
ilmuwan hampir selalu di atas rata-rata, tetapi angka IQ sendiri tidak dapat
meramalkan sejauh manakah seseorang itu kreatif nantinya. Dalam pemahaman lain
disebutkan, bahwa “kreativitas” merupakan salah satu istilah yang sering
digunakan meskipun merupakan istilah yang taksa (ambiguous) dalam penelitian
psikologi masa kini. Ia bahkan lebih taksa lagi dan sering digunakan dengan
bebas dikalangan orang awam. Terdapat banyak arti kreativitas yang populer, di
antaranya delapan yang sering digunakan. Pertama,
salah satu arti kreativitas yang populer menekankan pembuatan sesuatu yang baru
berbeda. Banyak orang beranggapan kreativitas dapat dinilai melalui hasil atau
apa saja yang diciptakan seseorang. Akan tetapi, kreativitas tidak selalu
membuahkan hasil yang dapat diamati dan dinilai.
Sebagai
contoh, pada saat melamun, seorang merancang sesuatu yang baru dan berbeda,
tetapi hanya pelamun itu sendiri yang mengetahuinya. Dengan demikian,
kreativitas harus dianggap sebagai suatu proses – suatu proses adanya sesuatu
yang baru, apakah itu gagasan atau benda dalam bentuk atau rangkaian yang baru
dihasilkan. Penekanan pada tindakan menghasilkan ketimbang pada hasil akhir
tindakan tersebut sekarang diterima sebagai inti konsep kreativitas. Arti kedua kreativitas sebagai kreasi sesuatu
yang baru dan orisinil secara kebetulan, sebagaimana seorang anak yang beriman
dengan balok-balok kayu membangun tumpukan yang menyerupai rumah dan kemudian
menyebutnya rumah.
Demikian
juga halnya, jika seorang seniman sedang mencampur warna dan secara kebetulan
menemukan warna merah atau hijau yang lain dari warna yang biasa digunakan,
maka seniman itu dinilai sebagai “orisinal.” Yang ketiga, menyatakan bahwa apa saja yang diciptakan selalu baru dan
berbeda dari yang telah ada dan karenanya unik. Terdapat banyak bukti bahwa
konsep ini tidak benar atau hanya benar sebagian. Diakui bahwa semua
kreativitas mencakup gabungan dari gagasan atau produk lama ke dalam bentuk
baru, tetapi yang lama merupakan dasar bagi yang baru. Pelukis yang
menghasilkan warna merah yang baru menggunakan warna lama seperti halnya anak
yang menciptakan dunia impian dan menggunakan suasana dan pengalaman dari
kehidupan sehari-hari atau media massa. Kemudian, keunikan juga prestasi yang sifatnya pribadi, tapi
belum tentu universal. Contoh, orang dapat menjadi kreatif bila mereka
menghasilkan sesuatu yang belum pernah mereka hasilkan sebelumnya, walaupun hal
itu sudah pernah dihasilkan dalam bentuk yang hampir sama atau bahkan sangat
serupa oleh orang lain.
Keempat, dari
kreatifitas adalah bahwa ia merupakan proses mental yang unik, suatu proses
yang semata-mata dilakukan untuk mengahasilkan sesuatu yang baru, berbeda, dan
orisinil. Sebaliknya, kreativitas mencakup jenis pemikiran spesifik, yang disebut
Guilford “pemikiran berbeda” (divergent thinking). Menurut Guilford, pemikiran
berbeda menyimpang dari jalan yang telah dirintis sebelumnya dan mencari
variasi. Ia melampaui apa yang jelas dan nyata,mempertimbangkan beberapa jawban
yang mungkin ada untuk suatu masalah, bukan hanya satu penyelesaian yang benar.
Hal ini berbeda dari “pemikiran selaras” (convergent thinking) yang mengikuti
jalur konvensional dimana pemikir menggunakan informasi yang tersedia untuk
sampai pada kesimpulan yang mengarah kesatu jawaban yang benar, sebuah jawaban yang
serupa dengan yang akan dicapai orang lain. Orang yang kreatif suka
mengutak-atik segala sesuatu cara mental dan mencoba berbagai kemungkinan,
bahkan juga bila mereka salah.
Pemikiran
seperti ini yang sering dilakukan dalam kegiatan sehari-hari biasanya tidak
dianggap kreatif. Akan tetapi, orang yang kreatif lebih luwes dan lancar dari
pemikir selaras dan tidak terikat pada informasi yang ada. Ini menimbulkan arus
gagasan yang lebih kaya dan hasilnya membuka jalan ke arah penyelesaian yang
baru dan karenanya kreatif. Karakteristik pemikiran berbeda lainnya-jenis yang
digunakan dalam kreativitas ialah yang meloncat-loncat. Ia tidak bergerak dalam
tahapan yang mudah diamati dan didefinisikan, sebagaimana pada pemikiran
selaras. Pemikiran selaras berlangsung secara berurutan bergerak langkah demi
langkah dan diarahkan oleh suatu tujuan jadi pemikiran ini mengkaji alternatif
dan memasang kendali untuk memeriksa kebenaran dalil-dalil yang sedang
dipertimbangkan. Kelima, kreativitas
seringkali dianggap sinonim dengan kecerdasan tinggi. Keyakinan ini telah
diperkuat dengan kenyataan bahwa orang dengan IQ yang sangat tinggi disebut
“jenius,” istilah yang oleh orang awam disamakan dengan kreativitas.
Hanya
sedikit bukti yang menunjukkan bahwa kecerdasan tinggi dan kreativitas tinggi
selalu berjalan seiring. Sebaliknya, kreativitas hanyalah salah satu aspek
kecerdasan sebagaimana kolega ingatan atau penalaran. Konsep kreativitas yang
umum keenam, yaitu sepercik
kejeniusan yang diwariskan pada seseorang dan tidak ada kaitannya dengan
belajar atau lingkungan menyatakan, bahwa orang kreatif merupakan sarana
konsep. Ini menyatakan bahwa mereka tidak berperan dalam perilaku kreatif
mereka, kecuali untuk mengungkapkan suatu ciri bahwa jika orang ingin kreatif,
mereka memerlukan pengetahuan yang diterima sebelum mereka dapat menggunakannya
dengan cara yang baru dan orisinal. ketujuh,
kreativitas umumnya dianggap sinonim dengan imajinasi dan fantasi dan karenanya
merupakan bentuk permainan mental. Goldner telah mengatakan bahwa kreativitas
merupakan “kegiatan otak yang teratur, komprehensif, dan imajinatif menuju
suatu hasil yang orisinal. “jadi ia lebih inovatif dari pada reproduktif.
Konsep kreativitas kedelapan yang populer adalah bahwa semua orang umumnya
terbagi dalam dua kelompok besar: “penurut” dan “pencipta.” Penurut melakukan
apa yang diharapkan dari mereka tanpa mengganggu atau menyulitkan orang lain.
Sebaliknya,
pencipta menyertakan gagasan orisinal, titik pandang yang berbeda, atau cara
baru menangani masalah dan menghadapinya. Mereka tidak mengikuti jalan yang
banyak ditempuh dan adakalanya menjadi unsur pengganggu dalam kelompok sosial.
Tingkat gangguan dan penerimaan mereka bergantung pada seberapa jauh mereka
menyimpang dari jalan yang lazim ditempuh kebanyakan orang. Konsep ini
menyatakan bahwa anak merupakan orang yang kreatif atau tak kreatif, penurut
atau pencipta. Konsep ini tidak mengakui adanya variasi dalam tingkatan
kreativitas yang dimiliki seseorang. Meskipun pengukuran kreativitas masih pada
tahap awal pertumbuhannya, terutama karena sulitnya menemukan cara untuk
mengukurnya dengan tepat, dari pengamatan dan pengukuran sederhana yang
sekarang tersedia terdapat cukup bukti yang menunjukkan bahwa gagasan ini tidak
benar.
Anak-anak
tidak dapat lagi dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan kreativitas
seperti yang dapat dilakukan dalam hal kecerdasan atau karakteristik lainnya.
Mereka memiliki berbagai tingkatan kreativitas sebagaimana mereka memiliki
berbagai tingkatan kecerdasan. Ini berarti bahwa sebagian besar anak mungkin
merupakan penurut, namun pada saat yang sama mereka juga mempunyai beberapa
kemampuan kreatif dan sebaliknya. Renzulli, menyatakan kreativitas adalah suatu
komponen fundamental keberbakatan atau oleh Renzulli disebut perilaku berbakat
(gifted behavior). SI Guilford
memasalahkan apakah kreativitas itu merupakan genotype atau phenotype?.
Guilford (1976, dalam Khatena, 1992) berpendapat, umur ketika seorang individu
mencapai skor inteligensi maksimumnya, berbeda dari tes yang satu dengan tes
yang lain. [4]
C.
Mengukur
Kreativitas
Gowan
menandai tiga tingkat kreativitas yang
meskipun memiliki persamaan ciri, juga memiliki perbedaan dan dalam
pembelajarannya dijabarkan oleh Treffinger dalam kehidupan kognitif atau
afektif.[5]
Tingkat kreativitas Pertama ini, antara lain ditandai oleh originalitas,
fleksibilitas, dan keterbukaan terhadap masalah yang disertai keberanian
mengambil resiko. Tingkat kedua, pemetaan masalah yang merupakan latihan untuk
memetakan dan mengidentifikasi masalah dengan mencari alternatif pemecahan
secara teratur. Tingkat yang Ketiga perumusan berdasarkan asumsi tertentu,
seperti; 1. mencari informasi tentang hal tertentu, 2. Analisis, 3. Membuktikan
kebenaran sebuah ramalan, 4) membuat proyek mandiri tentang topik itu.
Ketika
meneliti kreativitas yang agak luar biasa psikolog akan memilih orang yang
jelas telah memerlihatkan kreativitas yang menonjol. Dalam hal ini mengukur
kreativitas dapat dilakukan secara langsung. Hal ini akan sulit terlaksana
apabila bakat kreativitas seorang belum menonjol. Psikolog adalah menyajikan
metode resitas yang menuntut pemikiran divergen. Validitas dari tes yang
menuntut pemikiran divergen ini. Sampai saat ini ada 3 hal penting yang
diperdebatkan dengan alasan. Sewaktu orang yang jelas kreatif melakukan tes
ini, mereka jarang sekali membedakan berdasarkan prestasinya.
Skor
tinggi pada pemikiran divergen berkolerasi dengan ciri pribadi lain yang tidak
ada kaitannya dengan kreativitas seseorang, termasuk daya konfonmitas,
ketergantungan pada orang lain, sangat suka berteman, dan mudah dipengaruhi. Skor
tinggi pada tes pikiran divergen ini tidak konsisten berkaitan dengan ciri-ciri
pribadi yang semua dianggap mendasari kreativitas, termasuk di dalamnya adalah
rasa keingintahuan yang besar, tekun, keterlibatan dan inteligensi.
Beberapa
penelitian tentang kreativitas ini lebih cenderung untuk meneliti kepribadian,
jadi bukan tes yang menuntut pemikiran divergen. Mereka mencoba meneliti
seberapa jauh orang dapat memerlihatkan bahwa dia menilai sikap mental,
motivasi minat dan ciri-ciri pribadi lain yang menjadi ciri seorang yang kaya
imajinasi. Misalnya, psikolog Gary Davis telah meminta kepada mahasiswa membuat
sajak, cerpen, proyek kesenian, dan gagasan terhadap penemuan baru serta metode
mengajar. Proyek ini kemudian dinilai. Mahasiswa diminta mengisi formulir yang
menjelaskan gambaran kepribadiannya sendiri. Secara umum, mereka yang
menyebutkan dirinya sendiri sebagai orang kreatif cenderung memerlihatkan
proyek yang paling asli murni dan baru. Ketika kombinasi dengan pengukuran
terhadap prestasi imaginative yang
sesungguhnya, maka ketika terlihat bahwa tes kepribadian dapat dipergunakan
untuk mengenali orang yang tergolong kreatif dalam populasi umum.
Demikianlah
kreativitas itu menjadi ekspresi terhadap kandungan-kandungan tak-sadar yang
tidak diterima masyarakat tetapi dalam bentuk yang dapat diterimanya (Freud,
1908, 1911). Yang berlaku ketika membuat karya kreatif adalah bahwa orang yang
kreatif itu menjauhkan diri dari realitas menuju kehidupan khayalan yang
membolehkannya menyatakan kandungan-kandungan tak-sadar yang tak dapat dipuaskannya
dalam kehidupan sebenarnya. Jadi kreativitas itu adalah kelanjutan permainan
khayalan yang dimulakan oleh orang kreatif ketika ia seorang kanak-kanak.
Demikianlah kreativitas itu menjadi ekspressi terhadap kandungan-kandungan tak-sadar
yang tidak diterima masyarakat tetapi dalam bentuk yang dapat diterimanya
(Freud, 1908, 1911) bahwa ia tidak menyebut terang-terangan adakah kreativitas
itu sejajar dengan kesehatan mental yang wajar atau tidak.
Walaupun
secara tersirat dari percakapan Freud bahwa orang kreatif tidak bertumbuh
secara wajar dari segi psikologis, sebab ia lebih suka permainan khayal ke
kanak-kanakan. Jadi orang kreatif adalah orang yang menolak pertumbahan,
kematangan, dan berhadapan dengan kehidupan nyata, ia lebih suka pemuasan
khayali terhadap kandungan-kandungan psikologis tak-sadar dengan menggunakan
sublimasi. Ini jelas dalam tulisan-tulisan Freud (Bloomberg, 1973). Muncul
tafsiran lain bagi proses kreativitas dari sudut pandangan psikoanalisa.
Tafsiran kedua ini sependapat dengan Freud berkenaan dengan kreativitas dari
berbagai segi, sedang berbeda di berbagai segi yang lain.
Kris
(1952) berpendapat bahwa proses psikologikal di dalam proses kreativitas adalah
proses regressi untuk membantu si Aku, dalam hal ini Kris berkata bahwa si Aku
menghentikan kawalannya buat sementara dan membenarkan kandungan-kandungan tak-sadar menyatakan
dirinya dalam bentuk karya kreatif. Jadi karya kreatif itu pada dasarnya muncul
dari kandungan-kandungan tak-sadar dengan kenang-kenangan, khayalan, dan
dorongan-dorongan naluri yang terkandung di dalamnya, kemudian ia bergantungan
atas kemampuan si Aku menjalankan fungsinya menguasai kandungan-kandungan ini
ke arah masalah yang orang kreatif itu berusaha mencari pemuasan yang tidak
disetujui oleh si Aku. Jadi si Dia berada dalam posisi yang membenarkan
kandungan-kandungan itu menyatakan dirinya. Selanjutnya si Dia tidak berusaha
melepaskan diri dari si Aku atau mengalahkannya.
Jadi
kita dapati Freud dan Kris sepakat mengenai kandungan-kandungan tak-sadar sebagai
sumber utama karya kreatif. Spearman (1931) mengemukakan tafsiran bagi proses
kreatif yang terdiri atas tiga prinsip untuk menafsirkan aktivitas akal
semenjak kira-kira sebahagian abad yang lalu. Barangkali ada baiknya kita
mengemukakan tiga prinsip itu di bawah ini: prinsip pertama: spearman mendakwa
bahwa “seseorang cenderung untuk mengetahui perasaan dan kesadarannya dan apa
tujuannya.” Prinsip kedua: prinsip ini mengatakan bahwa “jika terdapat dua
tanggapan atau dua idea maka seseorang dapat mengetahui berbagai perhubungan
antara keduanya.” Prinsip ketiga: “jika seseorang mengenali tanggapan dan
hubungannya maka akal dapat sampai ke suatu tanggapan lain yang memiliki
hubungan itu juga.”
D.
Perkembangan
Kreativitas
Perkembangan
kreativitas sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif individu karena
kreativitas sesungguhnya merupakan perwujudan dari pekerjaan otak. Para pakar
kreativitas, misalnya Clark dan Gowan melalui Teori Belahan Otak (Hemisphere
Theory) mengatakan bahwa sesungguhnya otak manusia itu menurut fungsinya terbagi
menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kiri (left hemisphere) dan belahan otak
kanan (right hemisphere). Otak belahan kiri mengarah kepada cara berfikir
konvergen (convergen thinking), sedangkan otak belahan kanan mengarah kepada
cara berfikir menyebar (difergent thinking). Berkenaan dengan teori belahan
beserta fungsinya ini (Clark, 1983: 24) mengemukakan sejumlah fungsi otak
sesuai dengan belahannya itu berikut penjelasannya.
Fungsi
Belahan Otak Kiri dan Belahan Otak Kanan. (Clark, 1983: 24) Belahan
Otak Kiri (Left Hemisphere) 1) Math, history, language, 2) Verbal,
limit sensory, input, 3) Sequential, measurable, 4) Analytic, 5) Comparative,
6) Relational, 7) Referential, 8) Linier, 9) Logical, 10) Digital, 11)
Scientific, technological. Belahan Otak Kanan (Right
Hemisphere) 1) Self, elaborates and increases variabels, 2) inventive, 3)
Nonverbal perception and expressiveness, 4) Spatial, 5) Intuitive, 6) Holistic,
7) Integrative, 8) Nonreferential, 9) Gestalt, 10) Imagery ,Better at depth
perception, 11) facial recognition Mystical, humanistic. Berhubungan dengan
ini, dari penelitian Samples (1975, dalam Clark, 1986), ternyata bila proses
dan fungsi belahan otak kanan tertingkatkan, harga diri seseorang meningkat,
berbagai keterampilan kinerja pun bertambah dan peserta didik memerlihatkan
kecenderungan menjelajahi materi berbagai bidang dengan lebih mendalam dan
lebih tekun.
Atas
dasar berbagai penelitian tentang spesialisasi belahan otak itu maka fenomena
yang disebut kreativitas itu telah dikaitkan dengan fungsi dasar manusia, yaitu
berpikir, merasa, menginderakan, dan intuisi.[6]
Clark muncul dengan suatu konsep kreativitas sebagai ekspresi tertinggi
keberbakatan dan yang bersifat terintegrasikan, yaitu sintesa dari semua fungsi
dasar manusia. Studi-studi tentang kreativitas menunjukkan bahwa
perkembangannya mengikuti pola yang dapat diramalkan. Ini tampak pada awal
kehidupan dan pertama-tama terlihat dalam permainan anak, lalu secara bertahap
menyebar ke berbagai bidang kehidupan lainnya seperti pekerjaan sekolah,
kegiatan rekresi, dan pekerjaan. Hasil kreatif biasanya mencapai puncaknya pada
usia tiga puluh dan empat puluhan. Setelah itu tetap mendatar atau secara
bertahap menurun. Erikson menyebut usia menengah sebagai “usia krisis,” saat
“generativity” (kecenderungan untuk mencipta atau mewujudkan sesuatu) atau
“stagnasi” akan mendominasi.
Lehman
menjelaskan, puncak awal dalam kreativitas disebabkan oleh faktor lingkungan
seperti kesehatan yang buruk, lingkungan keluarga, tekanan keuangan, dan
kekurangan waktu luang. Tidak terdapat bukti bahwa puncak awal atau penurunan
berikutnya disebabkan oleh batasan bawaan. Apakah pola ini akan diikuti atau
tidak sebagaian besar bergantung pada pengaruh-pengaruh lingkungan yang
memudahkan atau menghalangi ekspresi kreativitas. Spock menekankan betapa
pentingya sikap awal orang tua terhadap ekspresi kreativitas anak ketika ia
mengatakan: orang tua yang memerkenalkan bayi kedunia benda mati atau tidak
melakukannya-menunjukkan mereka, apa saja kesenangan yang dapt diperoleh dengan
meletakkan sejumlah sendok dalam panci, melihat gambar buku, atau menari
mengikuti irama musik.
Arasteh (Semiawan, 1999: 99) mencoba
untuk mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi perkembangan kreativitas pada
usia anak-anak. Pertama, pada
usia 5–6 tahun ketika anak-anak siap memasuki sekolah, maka belajar bahwa
meraka harus menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang
dibuat orang dewasa ( orangtua dan guru). Semakin kaku dalam menetapkan
otoritas, maka semakin besar kemungkinan dapat menggangu perkembangan
kreativitas. Pada usia ini seyogyanya orangtua dan guru mampu memperlakukan
peraturan yang ada dengan disertai berbagai penjelasan yang dapat memberikan
pemahan pada anak, sehingga anak dalam mengikuti aturan tidak merasa tertekan.
Demikian juga aturan yang ada hendaknya dirumuskan dan dipraktekkan secara
fleksibel, tidak kaku.
Sehingga
tujuan peraturan atau tatatertib dibuat dapat dicapai dengan baik. Kedua, Usia
8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima sebagai anggota dalam
pergaulan mencapai puncaknya. Sebagian besar anak-anak pada usia ini merasa
bahwa untuk dapat diterima dalam pergaulan, mereka harus konformis sedekat
mungkin dengan pola-pola perilaku yang telah disepakati dengan sebayanya dan
siapa saja yang berani menyimpang, mereka akan ditolak kehadirannya di dalam
kelompoknya. Dalam suasana yang demikian anak-anak usia ini dikondisikan untuk
terbiasakan berpikir dan bertindak secara konformis, mereka cendrung tidak
berani mengambil resiko untuk berbeda pendapat. Sekiranya dikembangkan
kegiatan-kegiatan di sekolah yang menuntut pikiran, sikap, dan tindakan yang
divergen, maka mereka tidak selalu meresponya dengan bersikap positif, karena
mereka belum dan tidak terbiasa mengambil resiko dalam menghadapi perbedaan.
Ditambah lagi, konformis dari pada sikap divergen.
E. Tahapan Perkembangan
Kreativitas
1.
Tahap Sensori-Motoris
Tahap
ini dialami pada usia 0-2 tahun. Menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982), pada
tahap ini interaksi anak dengan lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama
dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya. Dalam melakukan interaksi dengan
lingkungannya, termasuk juga dengan orang tuanya, anak mengembangkan
kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai
gerakan, dan secara perlahan-lahan belajar mengoordinasikan tindakannya.
Mengenai kreativitasnya, menurut Piaget, pada tahap ini belum memiliki
kemampuan untuk mengembangkan kreativitasnya. Sebab, pada tahap ini tindakan
anak masih berupa tindakan fisik yang bersifat refleksi, pandangannya terhadap
objek masih belum permanent, belum memiliki konsep ruang dan waktu, belum
memiliki konsep tentang sebab-akibat, bentuk permainannya masih merupakan
pengulangan refleks-refleks, belum memiliki tentang diri ruang, dan belu
memiliki kemampuan berbahasa. Piaget juga mengatakan bahwa kemampuan yang
paling tinggi pada tahap ini terjadi pada umur 18-24 bulan, yaitu sudah mulai
terjadi transisi dari representasi tertutup menuju representasi terbuka. Pada
umur ini, anak sudah mulai dapat mereproduksikan sesuatu yang ada dalam memori
dan dapat menggunakan simbol-simbol untuk merujuk kepada objek-objek yang tidak
ada.
2.
Tahap Praoperasional
Tahap
ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab
perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh
suasana intuitif. Artinya, semua perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh
pemikiran tetapi oleh unsure perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang
diperoleh dari orang-orang bermakna, dan lingkungan sekitarnya. Pada tahap ini,
menurut Jean Piaget ( Bybee dan Sund, 1982 ), anak sangat bersifat egosentris
sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dalam lingkungannya,
termasuk dengan orang tuannya. Pada akhir tahap ini, menurut Jean Piaget (
Bybee dan Sund, 1982 ), kemampuan mengembangkan kreativitas sudah mulai tumbuh
karena anak sudah mulai mengembangkan memori dan telah memiliki kemampuan untuk
memikirkan masa lalu dan masa yang akan datang, meskipun dalam jangka pendek.
Di samping itu, anak memiliki kemampuan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa
alam di lingkunganya secara animistik dan antropomorfik. Penjelasan animistic
adalah menjelaskan peristiwa-peristiwa alam dengan menggunakan perumpamaan
hewan. Adapun penjelasan antropomorfik adalah menjelaskan peristiwa-peristiwa
alam dengan menggunakan perumpamaan manusia.
3.
Tahap Operasional Konkret
Tahap
ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, anak mulai menyesuaikan
diri dengan relitas konkret dan berkembang rasa ingin tahunya. Menurut Jean
Piaget ( Bybee dan Sund, 1982 ), interaksinya dengan lingkungan, termasuk
dengan orang tua, sudah semakin berkembang dengan baik karena egosentrisnya
sudah semakin berkurang. Menurut Jean Piaget kreativitasnya juga sudah semakin
berkembang. Faktor-faktor memungkinkan semakin berkembangnya kreativitas itu
adalah sebagai berikut.
1. Anak sudah
mulai mampu menampilkan operasi-operasi mental.
2. Anak mulai mampu berpikir logis dalam bentuk sederhana.
3. Anak mulai berkembang kemampuannya untuk memelihara identitas diri.
4. Konsep tentang ruang sudah semakin meluas.
5. Anak sudah amat menyadari akan adanya masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
6. Anak sudah mampu mengimajinasikan sesuatu, meskipun biasanya masih memerlukan bantuan ojek-objek konkret.
2. Anak mulai mampu berpikir logis dalam bentuk sederhana.
3. Anak mulai berkembang kemampuannya untuk memelihara identitas diri.
4. Konsep tentang ruang sudah semakin meluas.
5. Anak sudah amat menyadari akan adanya masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
6. Anak sudah mampu mengimajinasikan sesuatu, meskipun biasanya masih memerlukan bantuan ojek-objek konkret.
4.
Tahap Operasional Formal
Tahap
ini dialami oleh anak pada usai 11 tahun ke atas. Pada tahap ini, menurut Jean
Piaget, interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas menjangkau banyak teman
sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa.
Pada tahap ini ada semacam tarik-menarik antara ingin bebas dengan ingin
dilindungi. Dilihat dari perspektif ini, perkembangan kreativitas remaja pada
posisi seiring dengan tahapan operasional formal. Artinya, perkembangan
kreativitasnya, menurut Jean Piaget, sedang berada pada tahap yang amat
potensial bagi perkembangan kreativitas. Dunia anak adalah dunia kreativitas,
dunia yang membutuhkan ruang gerak, berpikir, dan ruang emosional yang
terbimbing serta memadai, sehingga tahapan ini akan mengantarkannya kepada
kedewasaan. Kehilangan dunia anak, adalah ancaman bagi punahnya dunia
kreativitas, berarti ancaman bagi hilangnya nilai-nilai dan kreativitas sosial
yang genuine, murni atau alami. Sebab
dunia kreativitas juga melibatkan interaksi otak, perasaan, dan gerak terhadap
sesama, sehingga mengenal otak, perasaan, dan gerak masing-masing dalam
bermain, dengan itu anak mengenal sesuatu yang disenangi oleh teman bermainnya.
Selain tumbuh dan berkembang, anak-anak adalah pribadi yang kreatif, suka
bertanya, rasa ingin tahu yang tinggi, suka berimajinasi. Kalau anak bertanya
tentang sesuatu, jawablah sesuai usia anak. Penjelasan yang berbelit-belit akan
susah diterima anak.
sampai
F.
Faktor-faktor
yang Memengaruhi Perkembangan Kreativitas
Pada
saat masih diyakini bahwa kreativitas merupakan unsur bawaan yang hanya
dimiliki sebagian kecil anak,
dianggap bahwa kreativitas akan berkembang secara otomatis dan tidak dibutuhkan
adanya rangsangan lingkungan yang menguntungkan bagi perkembangan ini.
Bertentangan dengan itu, sekarang diketahui bahwa semua anak mempunyai potensi
untuk kreatif, walapun tingkat kreativitasnya seperti halnya setiap potensi
lain, perlu diberi kesempatan dan rangsangan oleh lingkungan untuk berkembang.
Dalam sebuah penelitian telah menunjukkan dua faktor yang penting. Pertama, sikap sosial yang ada dan tidak
menguntungkan kreativitas harus ditanggulangi. Alasannya karena sikap seperti
itu memengaruhi teman sebaya, orang tua, dan guru serta perlakuan mereka
terhadap anak yang berpotensi kreatif. Hal ini banyak diusahakan orang tua
dengan menekankan kenormalan anaknya yang kreatif dan dengan mendorongnya untuk
berbuat sperti teman sebayanya dan menaruh perhatian terhadap apa saja yang
menjadi perhatian teman sebaya. Kedua,
kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan kreativitas harus diadakan pada
awal kehidupannya ketika kreativitas mulai berkembnag dan harus dilanjutkan
terus sampai berkembnag dengan baik.
Beberapa
faktor yang mendukung berkembangnya potensi kreativitas, antara lain sebagai
berikut: 1) Remaja sudah mampu melakukan kombinasi tindakan secara proporsional
berdasarkan pemikiran logis, 2) Remaja sudah mampu melakukan kombinasi
objek-objek secara proporsional berdasarkan pemikiran logis, 3) Remaja sudah
memiliki pemahaman tentang ruang relatif, 4) Remaja sudah memiliki pemahaman
tentang waktu relatif, 5) Remaja sudah mampu melakukan pemisahan dan
pengendalian variabel-variabel dalam menghadapi masalah yang kompleks, 6) Remaja
sudah mampu melakukan abstraksi reflektif dan berpikir hipotesis, 7) Remaja
sudah memiliki diri ideal ( ideal self ), 8) Remaja sudah menguasai bahasa abstrak.
Conny
Semiawan dalam Adhipura (2001: 46), meninjau faktor pendorong kreativitas dari
segi lingkungan sekolah. Ia mengemukakan bahwa
kebebasan dan keamanan psikologis merupakan kondisi penting bagi
perkembangan kreativitas. Anak merasa bebas secara psikologis, jika terpenuhi
persyaratan berikut ini: 1) guru menerima siswa sebagaimana adanya, tanpa
syarat, dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta memberikan kepercayaan
bahwa pada dasarnya anak baik dan mampu; 2) guru mengusahakan suasana agar
siswa tidak merasa “dinilai” dalam arti yang bersifat mengancam; dan 3) guru
memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan dan
perilaku siswa, dapat menempatkan diri dalam situasi siwa dan melihat dari
sudut pandang siswa. Hal lain disampaikan oleh Torancce dalam Supriadi
(Adhipura, 2001: 47), mengemukakan tentang lima bentuk interaksi guru dan siswa
di kelas yang dianggap mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa, yaitu: 1)
menghormati pertanyaan yang tidak biasa; 2) menghormati gagasan yang tidak
biasa serta imajinatif dari siswa; 3) memberikan kesempatan pada siswa untuk
belajar atas prakarsa sendiri; 4) memberi penghargaan kepada siswa, dan 5) meluangkan
waktu bagi siswa untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana penilaian.
Demikian juga Hurlock, mengemukakan beberapa faktor pendorong yang dapat
meningkatkan kreativitas, yaitu: a) waktu, b) kesempatan menyendiri, c)
dorongan terlepas dari seberapa jauh prestasi anak memenuhi standar orang
dewasa, d) sarana, e) lingkungan yang merangsang, f) hubungan anak dan orang
tua yang tidak posesif, g) cara mendidik anak,
dan h) kesempatan untuk memeroleh pengetahuan.
Utami
Munandar mengungkapkan bahwa dari berbagai penelitian diperolah hasil bahwa
sikap orang tua yang memupuk kreativitas anak antara lain: 1) menghargai
pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya; 2) memberi waktu pada
anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal; 3) membiarkan anak mengambil
keputusan sendiri; 4) mendorong kesulitan anak untuk menjajaki dan
memertanyakan banyak hal; 5) meyakinkan anak bahwa orang tua menghargai apa
yang ingin dicoba dilakukan dan apa yang dihasilkannya; 6) menunjang dan
mendorng kegiatan anak; 7) menikmati keberadaannya bersama anak; 8) memberikan
pujian yang sungguh-sungguh kepada anak ; 9) mendorong kemandirian anak dalam
bekerja; dan 10) melatih hubungan kerja sama yang baik dengan anak.
G.
Model
Stimulasi Perkembangan Kreativitas
Kreativitas
tidak dapat berkembang secara otomatis, tetapi membutuhkan rangsangan dari
lingkungan. Beberapa ahli mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi
perkembangan kreativitas. Utami Munandar (1988) mengemukakan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi kreativitas adalah:
1. Usia
2. Tingkat pendidikan orang tua
3. Tersedianya fasilitas
4. Penggunaan waktu luang
2. Tingkat pendidikan orang tua
3. Tersedianya fasilitas
4. Penggunaan waktu luang
Clark
(1983) mengkategorikan faktor-faktor yang memengaruhi kreativitas dalam dua
kelompok, yaitu faktor yang mendukung dan faktor yang menghambat. Faktor-faktor
yang dapat mendukung perkembangan kreativitas adalah sebagai berikut.
1.
Situasi yang menghadirkan ketidaklengkapan serta keterbukaan.
2. Situasi yang memungkinkan dan mendorong timbulnya pertanyaan.
3. Situasi yang dapat mendorong dalam rangka menghasilkan sesuatu.
4. situasi yang mendorong tanggung jawab dan kemandirian.
5. situasi yang menekankan inisiatif diri untuk menggali, mengamati, bertanya, merasa, mengklasifikasikan, mencatat, menerjemahkan, memperkirakan, menguji hasil perkiraan, dan mengomunikasikan.
6. Kewibahasaan yang memungkinkan untuk pengembangan potensi kreativitas secara lebih luas karena akan memberikan pandangan dunia secara lebih bervariasi, lebih fleksibel dalam menghadapi masalah, dan mampu mengekspresikan dirinya dengan cara yang berbeda dari umumnya yang dapat muncul dari pengalaman yang dimilikinya.
7. Posisi kelahiran.
8. Perhatian dari orangtua terhadap minat anaknya, stimulasi dari lingkungan sekolahnya, dan motivasi diri. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat berkembangnya kreatifitas adalah sebagai berikut:
1. Adanya kebutuhan akan keberhasilan, ketidak beranian dalam menanggung risiko, atau upaya mengejar sesuatu yang belum diketahui.
2. Konformitas terhadap teman-teman kelompoknya dan tekanan sosial.
3. Kurang berani dalam melakukan eksplorasi, menggunakan imajinasi, dan penyelidikan.
4. Stereotip peranseks atau jenis kelamin.
5. Diferensiasi antara bekerja dan bermain.
6. Otoritarianisme.
7. Tidak menghargai terhadap fantasi dan khayalan.
2. Situasi yang memungkinkan dan mendorong timbulnya pertanyaan.
3. Situasi yang dapat mendorong dalam rangka menghasilkan sesuatu.
4. situasi yang mendorong tanggung jawab dan kemandirian.
5. situasi yang menekankan inisiatif diri untuk menggali, mengamati, bertanya, merasa, mengklasifikasikan, mencatat, menerjemahkan, memperkirakan, menguji hasil perkiraan, dan mengomunikasikan.
6. Kewibahasaan yang memungkinkan untuk pengembangan potensi kreativitas secara lebih luas karena akan memberikan pandangan dunia secara lebih bervariasi, lebih fleksibel dalam menghadapi masalah, dan mampu mengekspresikan dirinya dengan cara yang berbeda dari umumnya yang dapat muncul dari pengalaman yang dimilikinya.
7. Posisi kelahiran.
8. Perhatian dari orangtua terhadap minat anaknya, stimulasi dari lingkungan sekolahnya, dan motivasi diri. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat berkembangnya kreatifitas adalah sebagai berikut:
1. Adanya kebutuhan akan keberhasilan, ketidak beranian dalam menanggung risiko, atau upaya mengejar sesuatu yang belum diketahui.
2. Konformitas terhadap teman-teman kelompoknya dan tekanan sosial.
3. Kurang berani dalam melakukan eksplorasi, menggunakan imajinasi, dan penyelidikan.
4. Stereotip peranseks atau jenis kelamin.
5. Diferensiasi antara bekerja dan bermain.
6. Otoritarianisme.
7. Tidak menghargai terhadap fantasi dan khayalan.
Miller
dan Gerard (Adams dan Gullota,1979) mengemukakan adanya pengaruh keluarga pada
perkembangan kreativitas anak dan remaja sebagai berikut.
1. Orang
tua yang memberikan rasa aman.
2. Orang tua mempunyai berbagai macam minat pada kegiatan didalam dan diluar rumah.
3. Orang tua memberikan kepercayaan dan menghargai kemampuan anaknya.
4. Orang tua memberikan otonomi dan kebebasan anak.
5. Orang tua mendorong anak melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
2. Orang tua mempunyai berbagai macam minat pada kegiatan didalam dan diluar rumah.
3. Orang tua memberikan kepercayaan dan menghargai kemampuan anaknya.
4. Orang tua memberikan otonomi dan kebebasan anak.
5. Orang tua mendorong anak melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Torrance
(1981) juga menekankan pentingnya dukungan dan dorongan dari lingkungan agar
individu dapat berkembang kreativitasnya. Menurutnya salah satu lingkungan yang
pertama dan utama yang dapat mendukung atau menghambat berkembangnya
kreativitas adalah lingkungan keluarga, terutama interaksi dalam keluarga
tersebut. Torrance(1981) mengemukakan lima bentuk interaksi orang tua dengan
anak atau remaja yang dapat mendorong berkembangnya kreativitas yaitu,
1. Menghormati
pertanyaan-pertanyaan yang tidak lazim
2. Menghormati gagasan-gagasan imajinatif
3. Menunjukkan kepada anak atau remaja bahwa gagasan yang dikemukakan itu bernilai
4. Memberikan kesempatan kepada anak atau remaja untuk belajar atas prakarsanya sendiri dan memberikan reward kepadanya
5. Memberikan kesempatan kepada anak atau remaja untuk belajar dan melakukan kegiatan-kegiatan tanpa suasana penilaian. Torrance (1981) juga mengemukakan beberapa interaksi antara orang tua dan anak (remaja) yang dapat menghambat berkembangnya kreativitas, yaitu
1. Terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi anak
2. Membatasi rasa ingin tahu anak
3. Terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan jenis kelamin (sexual roles)
4. Terlalu banyak melarang anak
5. Terlalu menekankan kepada anak agar memiliki rasa malu
6. Terlalu menekankan pada keterampilan verbal tertentu
7. Sering memberikan kritik yang bersifat destruktif.
2. Menghormati gagasan-gagasan imajinatif
3. Menunjukkan kepada anak atau remaja bahwa gagasan yang dikemukakan itu bernilai
4. Memberikan kesempatan kepada anak atau remaja untuk belajar atas prakarsanya sendiri dan memberikan reward kepadanya
5. Memberikan kesempatan kepada anak atau remaja untuk belajar dan melakukan kegiatan-kegiatan tanpa suasana penilaian. Torrance (1981) juga mengemukakan beberapa interaksi antara orang tua dan anak (remaja) yang dapat menghambat berkembangnya kreativitas, yaitu
1. Terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi anak
2. Membatasi rasa ingin tahu anak
3. Terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan jenis kelamin (sexual roles)
4. Terlalu banyak melarang anak
5. Terlalu menekankan kepada anak agar memiliki rasa malu
6. Terlalu menekankan pada keterampilan verbal tertentu
7. Sering memberikan kritik yang bersifat destruktif.
Jadi
menurut Torrance (1981), interaksi antara orang tua dengan anak atau remaja
yang dapat mendorong kreativitas bukanlah interaksi yang didasarkan atas
situasi stimulus respons, melainkan atas dasar hubungan kehidupan sejati (a
living relationship) dan saling tukar pengalaman (coexperiencing). b Dalam
kesempatan lain juga disampaikan bahwa, ada beberapa strategi untuk
meningkatkan kreativitas di kelas, seperti: 1) menunjukkan kepada siswa bahwa
kreativitas itu dihargai, 2) Fokuskan perhatian siswa pada penghargaan internal
daripada penghargaan eksternal, 3) doronglah siswa menguasai suatu area
matapelajaran, 4) berikan pertanyaan yang mengasah pikiran, 5) berikan siswa
kebebasan dan rasa aman yang dibutuhkan untuk mengambil risiko. 6) sediakan
waktu yang memadai untuk mendorong tumbuhkembangnya kreativitas.[7]
BAB III
Seperti
yang kita ketahui, anak-anak yang kreatif biasanya selalu ingin tahu, memiliki
minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan
remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka
lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada anak-anak
pada umumnya. Siswa berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi,
dapat melihat masalah dari berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk
bermain dengan ide, konsep, atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan. Mengenai
perkembangan kreativitasnya, Arasteh (Hurlock, 1982) mencoba untuk mengidentifikasi
sejumlah usia keritis bagi perkembangan kreativitas pada usia mereka. Pertama, pada usia 5–6 tahun ketika
anak-anak siap memasuki sekolah, mereka belajar bahwa meraka harus menerima
otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang dibuat orang dewasa (orangtua
dan guru). Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk
diterima sebagai anggota gang mencapai puncaknya. Beberapa peran sekaligus
implikasi yang dapat diterapkan guru demi meningkatkan perkembangan kreativitas
anak didik diantaranya disimpulkan oleh
Barbed dan Renzulli sebagai berikut (1975) :
1. Pertama-tama
guru perlu memahami diri sendiri,
karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru,
tapi juga bagaimana guru melakukannya.
2. Di
samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
3. Setelah
anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan
belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
4. Guru
anak berbakat lebih banyak memberikan tantangan
daripada tekanan.
5. Guru
anak berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi
lebih-lebih proses belajar.
6. Guru
anak berbakat lebih baik memberikan umpan-balik
daripada penilaian.
7. Guru
anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif
strategi belajar.
8.
Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa percaya diri anak serta
dimana anak merasa aman dan berani
mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan.
Jelaslah
bahwa peran guru sangat penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar siswa
selama di sekolah, tetapi juga dalam mempengaruhi masa depan anak.
Referensi
Susanto,
Ahmad. 2012. Perkembangan anak usia dini:
pengantar dalam berbagai aspeknya. Cet. Ke. 2. Eds. I. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Musbikin,
Imam. 2012. Pintar Mengatasi Masalah
Tumbuh Kembang Anak. Cet. I. Jogjakarta: FlashBooks.
Semiawan,
Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak
Berbakat. Jakarta: PT. Grasindo. Ed. Djony Herfan.
Ormrod
Ellis Jeanne. 2009. Psikologi Pendidikan
Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Eds. 6. Jakarta: Erlangga. PT Gelora
Aksara Pratama.
Langgulung
Hasan. 1991. Kreativitas dan Pendidikan
Islam Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah. Cet. I. Jakarta: Anggota IKAPI.
Penerbit; Pustaka Al-Husna.
Renzulli,
J.S., S. Reis, dan L.H. Smith. 1981. The Revolving Door Identification Model.
Mansfield Center, Connecticut, USA: Creative Learning Press Inc.
Munandar,
Utami. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
[1] Susanto, Ahmad. 2012. Perkembangan anak usia dini: pengantar dalam
berbagai aspeknya. H. 111-112
[3]
Ibid, h. 68
[5] Ibid., H. 169
[6] Jung.
1964. Basic functions thinking, feelings,
sensing and intuiting.
[7] Ormrod
Ellis Jeanne. 2009. Psikologi Pendidikan
Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. H. 407-408.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar