photo 44dca132-22a1-4075-a606-ef48a199a5b1_zps49a1316a.jpg
  • القرآن الكريم
  • الحديث
  • Search Ebook
  • Search Ebook
  • Software Download
  • For Android
  • App BlackBerry
  • اللّهمّ صلّ على سيّدنآ محمّد النّبىََّ الاُمي وَعلى آلْْْه وصحبه و سلّم المدرسة المو توسة الاِسلميه الأنصار سكرامى فكفك بهرات

    Sabtu, 11 Februari 2012

    EVALUASI PROGRAM MTS SATU ATAP



    Pendahuluan
    Pendidikan merupakan tanggungjawab  pemerintah (Negara)  terhadap  setiap warga negara. Hal ini sebagaimana termaktub dalam konstitusi bahwa negara memiliki tanggung jawab yang besar dalam upaya pencerdasan kehidupan bangsa bagi warga negaranya. Semua warga negara berhak terhadapmendaptkan akses pendidikan di manapun dan dalam komunitas apapun tanpa adanya diskriminasi. Namun demikian, pada masyarakat tertentu sulit mendapatkan akses terhadap pendidikan. Sulitnya mendapatkan akses disebabkan oleh letak geografi yang begitu jauh dari pusat pembangunan atau terisolir dari masyarakat luar atau secara budaya, mereka sulit menerima pendidikan formal yang biasa diakses oleh masyarakat. Demikian juga secara ekonomi, karena mereka tidak mampu membiayai pendidikan akibat mahalnya biaya pendidikan.

    Upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan dan akses terhadap pendidikan diantaranya Kementerian Agama bekerjasama dengan pemerintah Australia, melaksanakan pembangunan Madrasah Tsanawiyah  Satu Atap (MTs-SA). Program pembangunan MTs-SA merupakan bagian dari program pemerintah dalam meningkatkan akses pendidikan dasar untuk mendukung penuntasan wajib belajar, peningkatan mutu lulusan, melalui peningkatan peran serta masyarakat dan pemberdayaan institusi pendidikan terutama yang dikelola oleh swasta  yang banyak melayani golongan masyarakat ekonomi kurang mampu. Pilihan ini dilakukan mengingat jumlah Madrasah yang diselenggarakan oleh swasta jauh lebih besar dari padaMadrasah negeri.
    Dalam rangka pendidikan satu atap ini Kementerian Agama telah membangun Madrasah Tsanawiyah (MTs-SA) di berbagai wilayah  secara terpadu dengan madrasah Ibtidaiyah atau satuan pendidikan dasar formal sederajat lainnya yang  berlokasi di  pesantren dan membangun Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) secara terpadu dengan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di bawah naungan Kementerian Agama.   Program ini merupakan program strategis yang harus didukung oleh semua pihak. Namun kendala-kendala teknis penyelenggaraan MTS-SA terdapat berbagai persoalan mulai dari pemilihan lokasi hingga pemenuhan persyaratan yang belum konsisten dengan pedoman. Dalam kontek ini perlunya dilakukan evaluasi program kebijakan MTs SA. Rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah pengembangan akses pendidikan pada MTs SA, yang mencakup ketersediaan layanan, keterjangkauan layanan, dan perkembangan siswa?, Bagaimanakah tata kelola yang berlangsung di MTs SA, yang mencakup aspek kepemimpinan, kemandirian dan transparansi? Dan Bagaimanakah tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberadaan MTs SA?
    Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Namun demikian, penelitian ini tidak mengenyampingkan fenomena atau data yang bersifat kuantitatif. Masing-masing data (kualitatif dan kuantitatif) dianalisis secara proporsional, sehingga gambaran tentang fenomena di lapangan dapat terungkap secara lebih baik. Sedangkan lokasi yang menjadi sasaran penelitian ditentukan secara purposif, di Empat  (4) propinsi yaitu: Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
    Temuan
    1.       Dari 16 MTs SA sasaran dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok MTs-SA, yaitu : 1) MTS-SA yang pada tahun 2010  telah meluluskan siswa.MTs SA dalam kategori ini meliputi MTs –SA Hidayatul Athfal Serang banten; MTS-SA Nurul Huda Bekasi Jawa Barat; MTS-SA Al Ihsan Kebumen; MTS-SA  Al Nurul Huda Tanggerang Banten; MTs-SA Darul Fikri Tasikmalaya; MTs-SA Sabillul Muttaqin Pamekasan; MTs-SA Miftahul Ulum Sampang; 2) MTs-SA yang sudah berjalan, namun belum meluluskan siswa, meliputi; MTs-SA Miftahul Ulum Pandeglang Banten; MTs-SA Nurul Falah Garut;MTs-SA Raudatul Sibyan Sukabumi; MTs-SA Al’Islam Sukoharjo Jateng; MTs-SA Al Hidayah Jateng;  MTs-SA Kota Malang; MTs-SA Raudatul Karomah Pasuruan; dan MTs-SA Nuru Huda Lamongan. Dan 3) MTs- SA yang baru membuka kelasyaitu MTs Darul MuksininLebak Banten.
    2.      Keberadaan MTs. Satu Atap cukup efektif berada di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas tingkat ekonominya rendah, sehingga masyarakat sekitar mau menyekolahkan anaknya ke MTs-SA. Secara geografis, keberadaan MTs. Satu Atap memang cukup variatif, dimana tidak semua sekolah didirikan pada pertimbangan geografis yang tepat. Namun secara sosio-kultural, keberadaan MTs. Satu Atap merupakan kebutuhan penting masyarakat, karena masyarakat membutuhkan akses pendidikan dasar yang lebih mudah dijangkau dan   bebas dari biaya pendidikan.
    3.      Pada aspek ketersediaan layanan pendidikan, manfaat terbesar yang diberikan program MTs. Satu Atap adalah akses yang lebih mudah terhadap pendidikan dasar bagi anak usia sekolah. Aspek-aspek lain yang termasuk dalam layanan pendidikan masih dirasakan kurang adalah:
    a.        Akses jalan ke lokasi MTs. Satu Atap yang kurang mendukung.
    b.        Ruang kelas yang  terbatas.
    c.         Sarana dan prasarana pembelajaran yang kurang, seperti perpustakaan, laboratorium, dan buku pelajaran.
    d.        Jumlah tenaga pendidik (guru) yang kurang, baik dari sisi kualitas maupun kualitas.
    4.      Respon masyarakat terhadap kehadiran MTs. Satu Atap sangat positif, yang ditandai dengan peningkatan jumlah siswa pada setiap tahun ajaran sejak MTs. Satu Atap didirikan. Tidak hanya itu, respon positif masyarakat ini sudah terlihat sejak awal program MTs. Satu Atap digulirkan, dalam bentuk sumbangan pikiran dan tenaga demi terwujudnya MTs. Satu Atap pada daerah masing-masing.
    5.      Secara umum, tata kelola yang dikembangkan oleh MTs. Satu Atap, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sudah cukup baik, terutama pada aspek pelaksanaan program belajar mengajar. MTs. Satu Atap sudah melakukan usaha dalam meningkatkan profesionalisme guru seperti pelatihan-pelatihan guru dan peningkatan kualifikasi guru. Namun upaya peningkatan profesionalisme guru belum diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan guru.Tata kelola dalam bidang keuangan juga cukup baik, mulai dari penggalian sumber, pengalokasian, pemanfaatan dan pertanggungjawaban keuangan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan di madrasah, meskipun jumlah dana yang diterima MTs. Satu Atap mash sangat terbatas. Tata kelola dibidang sarana prasarana belum terlaksana dengan baik karena keterbatasan dana, baik untuk perawatan maupun untuk memperbaiki/mengganti barang yang rusak.
    6.      Umumnya orang tua siswa dan warga masyarakat merasa bertanggung jawab secara moral untuk mendukung MTs. Satu Atap. Kesadaran ini dapat meningkatkan    partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam membantu pengelolaan pendidikan. Namun, partisipasi orang tua siswa dan warga masyarakat tersebut sangat terbatas kepada kemampuannya, sebab umumnya orang tua siswa dan warga masyarakat di sekitar MTs. Satu Ataptergolong berekonomi lemah. Karena itu, pengerahan sumber  dana merupakan tugas paling berat bagi pihak yayasan penyelenggara dan pihak sekolah, sebab mereka masih lebih cenderung hanya mengandalkan pada sumber dana yang dialokasikan oleh pemerintah.
    Rekomendasi
    1.       Perlunya pemerintah menyerap aspirasi masyarakat yang terkait dengan peningkatan keterampilan hidup yang dibutuhkan masyarakat untuk dimasukan menjadi program pendidikan di sekolah;
    2.      Perlunya pemerintah melakukan penyadaran terhadap masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas hidup;
    3.      Melakukan penggalangan potensi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan MTs Satu Atap (SA);
    4.      Mengembangkan system MTs SA yang yang implementable, berkelanjutan dan mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan;
    5.      Mengembangkan sinergi diantara stakeholder agar mampu berkontribusi  secara optimal dalam pelaksanaan MTs SA;
    6.      Melakukan monitoring, supervise dan evaluasi yang berkelanjutan sebagai wujud penjaminan keberlangsungan MSA.
    Sumber:

    MADRASAH DI INDONESIA: SEKOLAH TERBAIK


          Kalau para orang tua ditanya tentang "apakah mereka (orang tua) menginginkan anaknya dididik supaya a) cerdas saja, atau b) baik (shaleh) saja, atau  c) cedas dan baik (shaleh)." Maka hampir dapat dipastikan jawaban para orang tua akan memilih jawaban c, yakni menginginkan anaknya dapat dididik supaya menjadi anak shaleh yang cerdas. Jika jawabannya demikian, maka ekspektasi (harapan) para orang tua tersebut merupakan kesempatan dan tantangan bagi "madrasah" untuk menjadi lembaga yang dapat memfasilitasi dan memediasi anak untuk menjelma menjadi anak yang cerdas dan sekaligus shaleh. Mengapa demikian? setidaknya, secara tentatif, hanya madrasahlah yang saat ini menjadikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang secara eksplisit mempunyai tujuan tersebut.
        Pendidikan umum (sekolah) umumnya cenderung hanya mengejar kecerdasan intelektual, yang ujung-ujungnya kecerdasan anak dinilai hanya dengan hasil test (ujian) bidang studi tertentu. Sementara, keshalehan akhlak, umumnya, tidak menjadi penilaian utama dan cenderung diabaikan. Seolah-olah ada adagium, "biarlah nakal, asal pintar". Pendidikan dalam bidang ilmu-ilmu dasar/ sains, seperti matematika dan IPA menjadi standar primadona dari ukuran kecerdasan, artinya kalau nilai-nilai yang diperoleh siswa dalam matpel matematika dan IPA (plus bahasa Inggris) tinggi (8-10), maka anak dianggap pintar dan berprestasi. Sedangkan kalau anak tersebut memperoleh nilai baik dalam bidang agama, olah raga, sejarah, ekonomi, seni, dll maka anak akan digolongkan biasa-biasa saja. Atmosfer akademik ini telah mengondisikan anak, pihak sekolah, birokrat pendidikan, dan masyarakat untuk hanya mengejar pencapaian kecerdasan intelektual saja. Sedangkan pengembangan akhlak (karakter) baik sering terabaikan.
          Di sinilah, madrasah muncul sebagai lembaga pendidikan yang berusaha membangun paradigma dan sistem pendidikan yang integrasi pencapaian kompetensi intelektual dan kompetensi akhlak karimah. Hanya persoalannya kemudian, apakah implementasi tujuan integratif tersebut telah dilaksanakan oleh setiap pengelola madrasah secara efektif, efisien, dan standard atau masih bersifat konseptual saja? Masyarakat pada saat ini belum bisa melihat keberhasilan output dari sistem pendidikan madrasah, karenanya wajar apabila public trust (kepercayaan publik) terhadap madrasah masih belum signifikan.    Namun, sebagaimana dikatakan Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, sistem dan pola pendidikan madrasah (dan pesantren), akhir-akhir ini, cenderung berubah signifikan ke arah yang lebih baik; hal ini memungkinkan alumni madrasah mampu berkompetisi dengan alumni lainnya dalam hal studi lanjut, memasuki dunia kerja, dan keberterimaan masyarakat.     


    Madrasah: Tradisi Panjang Pendidikan Islam
          Virginia Hooker menyebutkan bahwa berabad-abad sebelum Negara-bangsa (nation-state) menjadi model bagi sebagian besar kekuatan politik modern, masyarakat muslim dengan model khilafah Islamiyyahnya sebagai kesatuan kekuatan politik  telah mengembangkan model pendidikan formalnya untuk anak-anak mereka. Salah satunya adalah madrasah, yang umumnya dipimpin oleh seorang ulama karismatik, diakui otoritas keilmuan, pengetahuan, dan teladan positif perilaku kesahariannya. Sistem pendidikan ini dibangun, umumnya, di atas swadaya dan swadana masyarakat muslim, melalui wakaf, hibah, dan dana sumbangan wali murid dan komunitas lokal di sekitarnya. 
    Madrasah inilah yang umumnya menjadi model pendidikan masyarakat muslim dari zaman ke zaman, termasuk di Indonesia. Dengan demikian, secara kelembagaan, madrasah yang ada di Indonesia merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan Islam klasik dan pertengahan. Kajian dari George Makdisi (1981), Jonathan Berkey (1992), dan Michael Chamberlain (1994) menunjukkan kesinambungan dan perubahan kelembagan dan kurikulum madrasah dari zaman ke zaman. Berkey bahkan menyebutkan bahwa, bagi umat Islam, madrasah tidak hanya merupakan lembaga pendidikan saja, tetapi memaikan peran signifikan bagi identitas muslim.


             Madrasah—khususnya tipikal klasik, yang hampir sebangun dengan pesantren salafi (tradisional)--, yang ada di berbagai Negara termasuk Indonesia, jelas merupakan salah satu kelembagaan warisan khazanah klasik. Madrasah jenis ini merupakan salah satu kelembagaan otoritas ulama. Keberadaannya masih memainkan peranan penting pada masyarakat Muslim. Misalnya, Madrasah Deoband di Asia Selatan, yang menghadapi tantangan intra-muslim dan lingkungan lebih luas, sebagaimana keberadaan madrasah di lingkungan muslim minoritas seperti ditunjukkan oleh Barbara Metcalfdan Peter Mandaville.    

    Akar Kelahiran Madrasah      
           Kelahiran madrasah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya, yakni merupakan respon atau ketidakpuasan terhadap dua hal, Pertama, stagnasi atau ketertinggalan sistem yang diterapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang ada di Indonesia, seperti Surau, Meunasah, dan Pesantren. Lembaga-lembaga pendidikan ini umumnya, a) memiliki manajemen pendidikan yang konvensional dan tradisional, yang cenderung terpusat pada seseorang, terutama kyai atau buya, sehingga kepemimpinan (leadership) bersipat individual atau tidak kolektif; b) mempertahankan sistem pendidikan yang tradisional, yakni menggunakan metode yang konvensional [yakni sorogan dan bandungan] serta menerapkan kurikulum pembelajaran yang cenderung berorientasi pada penghapalan dan pemahaman ilmu-ilmu agama [doktriner]; dan c) mereka cenderung menafikan [bahkan sebagian mengharamkan] untuk mempelajari ilmu-ilmu "umum",seperti matematika, logika, fisika, kimia, biologi, hingga teknologi. Tidak salah, sebagian orang menyebutkan bahwa lembaga pendidikan tradisional hanya mempelajari ilmu yang berorientasi pada keakhiratan atau berakhlakul karimah, sedang aspek kecerdasan [melek ipteks], seringkali diabaikan.
            Kedua, sistem pendidikan sekolah umum -- untuk tidak menyebut sekuler-- yang diterapkan oleh pemerintah [Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru]. Pada institusi pendidikan ini, ilmu-ilmu sains modern dan teknologi dipelajari, dan sebaliknya ilmu-ilmu agama "dimarginalkan" atau dipinggirkan. Siswa dicetak menjadi cerdas dan pintar, serta profesional, tetapi mengabaikan aspek "baik" dalam perilaku/ etika. Umumnya, siswa-siswa diajarkan menggunakan metode yang modern dan diorientasikan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memenuhi lapangan kerja atau industri. Dengan kata lain, siswa dicetak sebagai pekerja atau berorientasi kerja atau "materi' (upah atau uang).
          Dari kegelisahan ini, sebagian pemikir pendidikan Islam, kemudian mengambil upaya untuk mengkonvergensi sistem pendidikan dari keduanya. Hasil konvergensi inilah yang kemudian, kini, menghasilkan institusi pendidikan yang bernama "madrasah". Potret sederhananya dapat dilihat dalam kurikulumnya yang merupakan gabungan dari dua jenis kurikulum, yakni kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan tradisional [misal pesantren] dan kurikulum sekolah. Hasilnya adalah integrasi ilmu dan pendidikan karakter [akhlak mulia]. Madrasah tidak hanya mendidik siswa cerdas dan pintar, tetapi berakhlak mulia; atau dengan kata lain, cageur, pinter, dan bageur. Inilah keunggulan dari madrasah.

    Transformasi Madrasah di Indonesia
    Madrasah mengalami transformasi berkesinambungan dan berkelanjutan dalam upayanya menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang ada. Kemampuan bertahan dan bertransformasi inilah yang membuat madrasah, yang kini masih ada, dapat bertahan dan berkembang. Dale Eickelman, dalam studinya tentang madrasah di Marocco, menyebutkan bahwa madrasah-madrasah tradisional di Marocco gagal merespon perubahan sehingga peran publiknya terus memudar. Sementara, menurutnya, madresse yang berada di Turki memiliki kemampuan untuk bertahan dan betransformasi, hingga mampu bertahan sekalipun dalam dominasi pendidikan sekuler Turki. Keberadaan madresse, yang sempat dihapuskan oleh Kemal Pasya Ataturk pada tahun 1924, kini muncul dalam gerakan Nurculuk melalui sayap dan jaringan Fethullah Gullen telah mampu memodifikasi madresse sebagai pendidikan keagamaan alternative, yang sering disebut sebagai hidden medresse (madrasah terselubung). Pada sisi lain, Madrasah di Mali, sebagaimana diungkap oleh Louis Brenner, mengalami transformasi signifikan sehingga mampu bertahan sebagai institusi mediasi social-keagamaan.
    Transformasi madrasah paling berhasil, menurut Azyumardi Azra, Dina Afriyanti, dan Robert W. Hefner justeru dapat dipastikan terjadi di Indonesia. Hanya saja, menurut Azyumardi Azra, tranformasi signifikan madrasah di Indonesia ini kurang diketahui dan disadari oleh banyak kalangan dunia pendidikan Indonesia sendiri maupun para pengamat dan peneliti asing. Karena itu, pemahaman dan apresiasi lebih baik terhadap madrasah pastilah perlu dikembangkan terus, baik di dalam maupun di luar negeri.
    Sejak Indonesia merdeka hingga kini, banyak madrasah yang kemudian mengkonversi diri ke dalam sistem pendidikan (kurikulum) yang berada dalam pembinaan dan pengawasan Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Secara perlahan, dari orde ke orde, seluruh sistem pendidikan madrasah dapat dipastikan berada on the track Kementrian Agama RI. Hanya saja keberadaan madrasah [sebagaimana pesantren), pada masa orde lama dan orde baru awal, identik dengan keterpinggiran dan keterbelakangan.
    Transformasi madrasah ini bermula dari upaya Menteri Agama, A. Mukti Ali, pada tahun 1970an, memperbaharui kurikulum madrasah, yang semula 100% berisi mata pelajaran (matpel) keagamaan, menjadi 70% matpel umum dan 30 matpel agama. Upaya ini membawa jalan pada upaya penyetaraan madrasah dengan sekolah umum, yang ditetapkan melalui UU sisdiknas no. 2 tahun 1989, yang kemudian direvisi oleh UU sisdiknas no. 20 tahun 2003. UU sisdiknas ini merupakan titik tolak legislasi Negara menutup gap (kesenjangan) antara madrasah dan sekolah umum.
    Berdasarkan laporan Kemenag RI, hampir 80% madrasah dikelola  oleh swasta, yayasan, atau pesantren. Data ini perlu dikemukakan, karena berbeda dengan sekolah umum (negeri) yang banyak dikelola oleh Negara, madrasah banyak dikelola oleh pihak non-pemerintah.

    Data Madrasah 1991/1992 dan 2010/11

    No
    Jenjang
    Tahun 1991/1992
    Tahun 2010/2011
    Negeri
    Swasta
    Jumlah
    Negeri
    Swasta
    Jumlah
    1
    Madrasah Ibtidaiyah
    885
    21.300
    22.200



    2
    Madrasah Tsanawiyah
    746
    6.300
    7.046



    3
    Madrasah Aliyah
    456
    2.596
    3.025




    Secara kelembagaan, jenjang madrasah serupa dengan sekolah yang berada di bawah kemendiknas. Madrasah terdiri dari madrasah Ibtidaiyah (setara SD, 6 tahun), Madrasah Tsanawiyah (setara SMP, 3 tahun), dan Madrasah Aliyah (setara SMU, 3 tahun). Madrasah pun dapat diklasifikasikan juga sebagai madrasah negeri dan madrasah swasta.
    Dari segi kurikulum, madrasah pun mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 2 tahun 1989 dan nomor 20 tahun 2003. Berdasarkan pada undang-undang ini, madrasah memiliki kesetaraan dengan sekolah (umum). Perbedaannya hanya terletak pada penekanannya terhadap matpel agama Islam. Inilah yang menyebabkan madrasah diasumsikan “lebih Islami” daripada sekolah lainnya. Selebihnya, Kemenag RI pun berusaha merumuskan dan mengimplementasikan, apa yang disebut para ahli sebagai, “nuansa islam” dalam kurikulum.
    Awal tahun 1990-an inilah, transformasi madrasah [dan pesantren] menemukan momentumnya, sebagaimana dibuktikan Azyumardi Azra, Dina Afriyanti, dan Hefner. Indikator utama adalah semakin intensnya keterlibatan madrasah dalam pendidikan umum, pembangunan bangsa, dan kewargaan kultural (civil society). Perhatian Negara yang meningkat melalui keserupaan kebijakan, termasuk alokasi dana, menyuntikkan “darah segar” pada madrasah serta memicu dinamika baru yang tengah menggeliat dalam kancah pendidikan Islam. Dampak dari peluang baru kebijakan dan alokasi dana Negara pada pendidikan Islam, tidak hanya menyediakan akses lebih baik pada pendidikan Islam, tetapi juga telah mendorong peningkatan standard an kualitas. Pendidikan sains dan teknologi di madrasah, misalnya, diuntungkan dengan adanya perhatian lebih besar, fasilitas lebih baik, dan staf pendidikn yang lebih berkualitas tinggi.
    Transformasi inilah yang kemudian dikenal sebagai mainstreaming (pengarusutamaan) madrasah (dan pendidikan Islam lainnya) ke dalam sistem pendidikan nasional. Hampir tidak ditemukan resistensi berarti terhadap upaya transformasi dan affirmasi Negara terhadap madrasah ini dari umat islam, sebagai pendiri, pemiliki, dan pengelola madrasah. Nyaris absennya resistensi ini berkaitan dengan adanya harapan yang sudah lama diperjuangan umat Islam untuk kesetaraan madrasah dengan sekolah umum, sehingga siswa-siswa madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum serta perguruan tinggi umum. Usaha ini jelas merupakan langkah yang tidak dapat dimundurkan lagi (point of no return). Karenanya, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa fenomena kontemporer madrasah di Indonesia mengindikasikan “kemenangan politik pendidikan Islam di Indonesia”. Karena, tidak ada pendidikan “berbasis agama”, yang diakomodir  dan dikeola oleh negara di Indonesia kecuali, sistem pendidikan madrasah, yang nota bene milik umat Islam.
    Titik temu transformasi kelembagaan madrasah dan pesantren, justeru berakumulasi pada transformasi madrasah di lingkungan pesantren, sebagaimana ditunjukkan oleh Asrori S. Karni. Karenanya, tidaklah salah, apabila kemudian terdapat anggapan bahwa madrasah dan pesantren (serta lembaga pendidikan Islam lainnya) di Indonesia menempati ranking sistem pendidikan paling terbuka dan inovatif di dunia. Terlebih, pada banyak kasus, madrasah dan pesantren tidak lagi dianggap sebagai "lembaga pendidikan kelas dua, tetapi diposisikan oleh masyarakat sebagai "lembaga pendidikan unggul" serta "berreputasi internasional". (dR)

    Nuansa Baru MTs Sukaramai 2012